Kamis, 24 November 2011

 MALU AKU MENATAP WAJAH SAUDARAKU PARA PETANI

Oleh: Taufiq Ismail


Ketika menatap Indonesia di abad 21 ini,
Tampaklah olehku ratusan ribu desa,
jutaan hektar sawah, ladang, perkebunan, peternakan, perikanan,
di pedalaman, di pantai dan lautan,
terasa olehku denyut nadi irigasi,
pergantian cuaca,
kemarau dan banjir datang dan pergi,
dan tanah airku yang digebrak krisis demi krisis,
seperti tak habis - habis terpincang - pincang dan sempoyongan,

Berjuta wajahmu tampak olehku,
Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu
Garis - garis wajahmu di abad 21 ini
masih serupa dengan garis - garis wajahmu abad yang lalu
garis - gari penderitaan berkepanjangan
dan aku malu
aku malu padamu

Aku malu padamu, wahai saudaraku petani di pedesaan
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani
Beras yang masuk ke perut kami
Harganya kalian subsidi
Sedangkan pakaian, rumah dan pendidikan anak kalian
Tak pernah kami orang kota
Kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi

Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan obyek
Belum lagi jadi subyek
Berpuluh - puluh tahun lamanya
Aku malu
Hasil cucuran keringat kalian berbulan - bulan
Bulir - bulir yang indah, kuning keemasan
Dipanen dengan hati - hati penuh kesayangan
Dikumpulkan dan kedalam karung dimasukkan
Tapi ketika sampai pada masalah penjualan
Kami orang kota
Yang menetapkan harga
Ak malu mengatakan
Ini adalah suatu bentuk penindasan
Dan ak tertegun menyaksikan
Gabah yang kalian bakar itu
Bau asapnya
Merebak ke seantero bangsa

Demikian siklus pengulangan dan pengulangan
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani
Karbohodrat yang dengan setia kalian sediakan
Harganya tak dapat kalian sendiri menentukan

Sedangkan kami orang perkotaan
Bila kami memproduksi sesuatu
Dan bila tentang harga, ada yang mencoba campur tangan
Kami orang kota akan berteriak habis - habisan
Dan mengacungkan tinju, setinggi awan

Kalian seperti bandul yang diayun - ayunkan
Antara swa-sembada dan tidak swa-sembada
Antara menghentikan impor beras
Dengan mengimpor beras
Swa-sembada, tidak swa-sembada
Menghentikan impor beras
Mengimpor beras
Bandul yang bingung berayun - ayun
Bandul yang bingung diayun - ayunkan

Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan objek
Belum lagi jadi subjek
Berpuluh - puluh tahun lamanya
Aku malu

Di dalam setiap pemilihan umum dilangsungkan
Kepada kalian janji - janji diumpankan
Tapi sekaligus kearah kepala kalian
Diacungkan pula tinju ancaman
Dulu oleh pemerintah, kini oleh partai politik
Dan kalian hadapi ini
Antara kesabaran dan kemuakan
Menontondari kejauhan
DPR yang turun, DPR yang naik
Presiden yang turun, presiden yang naik
Nasib yang beringsut sangat lamban
Dan tak kudengan dari mulut kalian
Sepatah kata pun diucapkan

Saudaraku,
Di tengah krisis ini yang seperti yang tak habis - habis
Di tengah azab demi azab menimpa bangsa
Kami berdoa semoga yang selama ini jadi objek
Dapatlah kiranya berubah menjadi subjek
Jangka waktunya pastilah lama
Tapi semuanya kita pulangkan
Kepada Tuhan
Yaa Tuhan
Tolonglah petani kami
Tolonglah bangsa kami
Amiiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar